Kamis, 17 November 2011

PENDIDIKAN EXCLUSIVE Vs. PENDIDIKAN INCLUSIVE


Afdal


Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan peserta didik menjadi cakap dan mandiri dalam menghadapi kehidupannya, dengan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1). Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, diselenggarakanlah pendidikan untuk semua, education for all, dengan mewajibkan setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar minimal 9 tahun sampai jenjang lanjutan tingkat pertama. Dengan berbagai usaha, pemerintah melakukan berbagai perbaikan, mulai dari pengklasifikasian sekolah menjadi sekolah standar nasioanl (sekolah reguler), sekolah rintisan bertaraf internasioanal hingga klasifikasi sekolah bertaraf internasional, yang dalam proses pembelajarannya ada yang menggunakan kelas percepatan (akselerasi), kelas inklusif hingga banyak pemerhati pendidikan juga mengklasifikasikan kepada kelas esklusif. Tulisan ini akan membahas pendidikan esklusif dan pendidikan inklusif.
A.    Pendidikan Exclusive
Demi tercapainya peningkatan kualitas manusia Indonesia manusia seutuhnya, anak-anak yang wajib mengikuti pendidikan minimal pendidikan dasar, dengan menyelenggarakan pendidikan gratis. Program ini menjadi harapan banyak orang, terutama masyarakat miskin yang menaruh harapan besar terhadap keberlanjutan pendidikan anak-anaknya di antara kenaikan persoalan dan kebutuhan hidup. Akan tetapi beberapa kebijakan pemerintah, di artikan oleh sebagian penyelenggara pendidikan, sebagai ajang untuk memisahkan harapan masyarakat miskin pada umumnya dengan kenyataan untuk dapat mengikuti pendidikan yang layak, murah dan berkualitas. Mesti pemerintah “menggratiskan” penyelenggaraan pendidikan dengan pemberian bantuan dana dalam bentuk Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS), bukan berarti para orang tua bebas dari iuran yang ditetapkan oleh pihak sekolah dengan dalih merupakan kesepakatan bersama dengan komite sekolah, bahkan dana yang dikumpulkan terkadang lebih dari uang sekolah/SPP. Hal serupa juga terjadi pada penyelenggaraan pendidikan pada sekolah rintisan sekolah bertaraf internasioanl (RSBI) maupun sekolah bertaraf internasioanal (SBI), yang semakin memperlihatkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Dalam penyelenggaraannya di lapangan, para orang tua siswa yang anaknya diterima di sekolah RSBI maupun sekolah SBI diwajibkan untuk membayar biaya pengembangan fasilitas (pengadaan AC dan fasilitas mewah lainnya di kelas), biaya studi tour ke luar negeri dan biaya-biaya mahal lainnya, sehingga biasanya masyarakat menyebutnya sebagai pendidikan yang eksklusif, yang hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang kuat, dan akan sangat sulit dirasakan oleh anak cerdas dengan kemampuan ekonomi rata-rata ke bawah.
B.     Pendidikan Inclusive
Wacana pendidikan inklusif telah mulai diperbincangkan dalam berbagai forum internasioanal dengan mengedepankan pendidikan untuk semua dalam Deklarasi Universal pada tahun 1948, yang selanjutnya juga diperbincangkan dalam Deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang hak anak dengan isu utama dalam Pendidikan Inklusif adalah bahwa Pendidikan Inklusif didasarkan pada hak asasi dan model sosial; sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem (Sue Stubb, 2002:7).  Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan inklusif mengedepankan kesamaan hak anak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tanpa memandang latar belakang, cacat fisik atau mental dan keterbatasan lainnya. Hal ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan menerbitkan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasioanal khususnya pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, serta pada pasal 5 ayat (3) dan 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa warga negara terbelakang berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Dalam penyelengaraannya, pendidikan inklusif menampung semua anak di kelas yang sama, yaitu anak tanpa gangguan/normal dan anak dengan gangguan/ berkebutuhan khusus, belajar bersama dalam kelas yang sama, dengan harapan anak-anak yang memiliki gangguan/berkebutuhan khusus tersebut dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sehingga tidak merasa terpinggirkan, terkucilkan maupun merasa tuhan tidak memihak kepadanya. tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya (Hidayat:2009).



Tulisan ini secara ringkas memberikan makna bahwa dalam peraturannya tidak ada pendidikan yang ekskulif, yang mungkin ada hanyalah pelayanan ekslufsif yang diberikan oleh semua pendidik kepada semua siswa tanpa memandang perbedaan fisik, ras, agama, latar belakang sosial, status ekonomi, gender, budaya dan hal lainnya. Pendidikan untuk semua, untuk mencerdaskan manusia, bukan untuk menciptakan perbedaan.

Bahan Bacaan:

Hidayat. 2009. Model dan Strategi Pembelajaran Abk Dalam Setting Pendidikan Inklusif. Makalah. Disampaikan pada Workshop "Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi Pembelajarannya di Balikpapan tanggal 25 Oktober 2009.
Sue Stubbs. 2002. Pendidikan Inklusif (alih Bahasa Susi Septiavana R.). Norwegia: idpnorway
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar