Kamis, 17 November 2011

BIMBINGAN DAN KONSELING SPRITUALITAS


Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (2006:72) Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Melalui pendidikan, siswa/peserta didik dibentuk menjadi manusia seutuhnya sesuai yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasioanl di maksud. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasioanal tersebut, peran BK sangatlah urgen, dengan empat bidang bimbingan yaitu bimbingan akademik, sosial pribadi, karir dan bimbingan keluarga, empat jenis layanan yaitu layanan dasar bimbingan, layannan responsif, layanan perencanaan individual dan dukungan sistem, empat ragam pendekatan yaitu pendekatan krisis, remedial, preventif dan perkembangan serta lima ragam teknik yaitu konseling, nasihat, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan belajar bernuansa bimbingan (A. Juntika Nurihsan, 2007).
Richards and Bergin (dalam Adi Atmoko, 2010) mengidentifikasi sembilan dimensi religiusitas seseorang  yaitu (1) worldview, cara pandang seseorang terhadap diri, alam dan Penciptanya. Ia mencakup bagaimana cara seseorang memandang hakikat dunia, posisi dia di dunia, keberadaan kejahatan, dan seberapa banyak usaha dia untuk menentukan nasib. Religiusitas ditentukan oleh cara pandang yang didasari oleh sistem keyakinan bersifat theistik (Ketuhanan) atau Kekuatan yang lebih tinggi, (2) religious affiliation, tradisi religi yang dijalankan individu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, apakah ia mengikuti tradisi Kristiani, Islam, Hindu dan sebagainya (3) level of orthodoxy, berkenaan dengan sejauh mana kesesuaian sistem keyakinan dan perilaku seseorang dengan tradisi dan doktrin yang telah digariskan oleh agama yang dipeluk (4) religious problem solving, Penyelesaian masalah dengan strategi religi merupakan penerapan agama yang dipeluk individu dalam menyelesaikan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari (5) spiritual identity, berkenaan dengan bagaimana seseorang menerima dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan dan semesta alam (6) image of God, Gambaran tentang Tuhan berkenaan dengan bagaimana seseorang menggambarkan sifat Tuhan dan apakah ia meyakini sifat-sifat itu (7) value-lifestyle congruence, Kongruensi antara nilai yang diyakini dan gaya hidupnya mengindikasikan bahwa seseorang memiliki perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai yang diyakini, apakah berupa etika, moral, agama ataukah nilai religius (8) doctrinal knowledge, religiusitas seseorang merupakan kompleksitas pengetahuan tentang doktrin religi dan bagaimana orang itu mengkonstruknydan (9) religious and spiritual health and maturity, berkenaan dengan kematangan atau kesehatan religius berkaitan dengan jenis motivasi yang dimiliki seseorang dalam menjalankan ibadah sesuai religi.
Anwar Sutoyo (2010) mengedepankan model bimbingan konseling Islami yang akan membawa individu/konseli kepada fitrahnya, dengan membahas esensi manusia menurut quran, khalifah fil ard, iman, ibadah, dan kemudian mengembangkan model bimbingan konseling berlandaskan Alquran. Saat ini juga dikembangkan metode/terapi yang bisa digunakan dalam menangani individu mengatasi permasalahan emosi nya dengan terapi yang diberi nama Spritual Emotional Freedom Technique yang memandang manusia sebagai mahkluk spiritual yang mempunyai pengalaman duniawi, bukan sebagai mahkluk duniawi yang memiliki pengalaman spiritual (Bambang Hidup Mulyo (2010). Sedangkan Musfir bin Said (2005) menegmukakan metode konseling islami dengan metode pembelajaran langsung, pengingkaran, canda dan celoteh, pukulan atau hukuman, isyarat, suri tauladan, celaan, pengasingan, hukuman keras, dialog dan realitas. Di sisi lain Cucu Maesaroh (2010) mengemukakan konseling spiritual sebagai proses pemberian bantuan kepada individu agar memiliki kemampuan untuk mengambangkan fitrahnya sebagai mahluk beragama (homo religions), berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), dan mengatasi masalah-masalah kehidupan melalui pemahaman, keyakinan, dan praktik-praktik ibadah ritual agama yang dianutnya.
Dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional, maka layanan bimbingan dan konseling perlu menyentuh sembilan dimensi religiulitas individu dengan berbagai layanan bimbingan dan konseling sebagai suatu bentuk yang komprehensif dalam bidang bimbingan dan konseling untuk menjadikan individu mandiri dan siap menghadapi kehidupan sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. 

Bahan Bacaan:
A. Juntika Nurihsan. 2007. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: PT Refika Aditama
Adi Atmoko. 2010. Konseling Religius: Kerangka Kerja untuk Bimbingan Skripsi. Makalah: Disajikan dalam Kongres XI dan Konvensi Nasional XVI Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)di Surabaya tanggal 14-17 Nopember 2010
Anwar Sutoyo. 2010. A Model of Islamic Guidance and Counseling. Makalah: Disajikan dalam Kongres XI dan Konvensi Nasional XVI Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)di Surabaya tanggal 14-17 Nopember 2010
Bambang Hidup Mulyo. 2010. Spiritual-emotional Freedom Technique (SEFT) Sebagai Model Bimbingan Konseling di Sekolah. Makalah: Disajikan dalam Kongres XI dan Konvensi Nasional XVI Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)di Surabaya tanggal 14-17 Nopember 2010
Cucu Maesaroh. 2010. Pendekatan Konseling Spiritual  Untuk Mengembangkan Hikmah Ibadah Bagi Pemulihan Pecandu Napza. Makalah: Disajikan dalam Kongres XI dan Konvensi Nasional XVI Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)di Surabaya tanggal 14-17 Nopember 2010

PENDIDIKAN EXCLUSIVE Vs. PENDIDIKAN INCLUSIVE


Afdal


Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan peserta didik menjadi cakap dan mandiri dalam menghadapi kehidupannya, dengan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1). Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, diselenggarakanlah pendidikan untuk semua, education for all, dengan mewajibkan setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar minimal 9 tahun sampai jenjang lanjutan tingkat pertama. Dengan berbagai usaha, pemerintah melakukan berbagai perbaikan, mulai dari pengklasifikasian sekolah menjadi sekolah standar nasioanl (sekolah reguler), sekolah rintisan bertaraf internasioanal hingga klasifikasi sekolah bertaraf internasional, yang dalam proses pembelajarannya ada yang menggunakan kelas percepatan (akselerasi), kelas inklusif hingga banyak pemerhati pendidikan juga mengklasifikasikan kepada kelas esklusif. Tulisan ini akan membahas pendidikan esklusif dan pendidikan inklusif.
A.    Pendidikan Exclusive
Demi tercapainya peningkatan kualitas manusia Indonesia manusia seutuhnya, anak-anak yang wajib mengikuti pendidikan minimal pendidikan dasar, dengan menyelenggarakan pendidikan gratis. Program ini menjadi harapan banyak orang, terutama masyarakat miskin yang menaruh harapan besar terhadap keberlanjutan pendidikan anak-anaknya di antara kenaikan persoalan dan kebutuhan hidup. Akan tetapi beberapa kebijakan pemerintah, di artikan oleh sebagian penyelenggara pendidikan, sebagai ajang untuk memisahkan harapan masyarakat miskin pada umumnya dengan kenyataan untuk dapat mengikuti pendidikan yang layak, murah dan berkualitas. Mesti pemerintah “menggratiskan” penyelenggaraan pendidikan dengan pemberian bantuan dana dalam bentuk Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS), bukan berarti para orang tua bebas dari iuran yang ditetapkan oleh pihak sekolah dengan dalih merupakan kesepakatan bersama dengan komite sekolah, bahkan dana yang dikumpulkan terkadang lebih dari uang sekolah/SPP. Hal serupa juga terjadi pada penyelenggaraan pendidikan pada sekolah rintisan sekolah bertaraf internasioanl (RSBI) maupun sekolah bertaraf internasioanal (SBI), yang semakin memperlihatkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Dalam penyelenggaraannya di lapangan, para orang tua siswa yang anaknya diterima di sekolah RSBI maupun sekolah SBI diwajibkan untuk membayar biaya pengembangan fasilitas (pengadaan AC dan fasilitas mewah lainnya di kelas), biaya studi tour ke luar negeri dan biaya-biaya mahal lainnya, sehingga biasanya masyarakat menyebutnya sebagai pendidikan yang eksklusif, yang hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang kuat, dan akan sangat sulit dirasakan oleh anak cerdas dengan kemampuan ekonomi rata-rata ke bawah.
B.     Pendidikan Inclusive
Wacana pendidikan inklusif telah mulai diperbincangkan dalam berbagai forum internasioanal dengan mengedepankan pendidikan untuk semua dalam Deklarasi Universal pada tahun 1948, yang selanjutnya juga diperbincangkan dalam Deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang hak anak dengan isu utama dalam Pendidikan Inklusif adalah bahwa Pendidikan Inklusif didasarkan pada hak asasi dan model sosial; sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem (Sue Stubb, 2002:7).  Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan inklusif mengedepankan kesamaan hak anak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tanpa memandang latar belakang, cacat fisik atau mental dan keterbatasan lainnya. Hal ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan menerbitkan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasioanal khususnya pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, serta pada pasal 5 ayat (3) dan 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa warga negara terbelakang berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Dalam penyelengaraannya, pendidikan inklusif menampung semua anak di kelas yang sama, yaitu anak tanpa gangguan/normal dan anak dengan gangguan/ berkebutuhan khusus, belajar bersama dalam kelas yang sama, dengan harapan anak-anak yang memiliki gangguan/berkebutuhan khusus tersebut dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sehingga tidak merasa terpinggirkan, terkucilkan maupun merasa tuhan tidak memihak kepadanya. tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya (Hidayat:2009).



Tulisan ini secara ringkas memberikan makna bahwa dalam peraturannya tidak ada pendidikan yang ekskulif, yang mungkin ada hanyalah pelayanan ekslufsif yang diberikan oleh semua pendidik kepada semua siswa tanpa memandang perbedaan fisik, ras, agama, latar belakang sosial, status ekonomi, gender, budaya dan hal lainnya. Pendidikan untuk semua, untuk mencerdaskan manusia, bukan untuk menciptakan perbedaan.

Bahan Bacaan:

Hidayat. 2009. Model dan Strategi Pembelajaran Abk Dalam Setting Pendidikan Inklusif. Makalah. Disampaikan pada Workshop "Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi Pembelajarannya di Balikpapan tanggal 25 Oktober 2009.
Sue Stubbs. 2002. Pendidikan Inklusif (alih Bahasa Susi Septiavana R.). Norwegia: idpnorway
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
GLOBALISASI DAN KONFLIK MULTIKULTURAL
Oleh : Afdal/1101677
A.    Makna Globalisasi
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), seperti kata-kata Americanization, McDonaldization, sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya (Laurence E. Rothenberg):. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. C. Rangarajan (2006:1) mengartikan globalisasi sebagai suatu integrasi ekonomi dan sosial antar negara dalam bidang informasi, ide/pendapat/, teknologi, pelayanan, kapital, keuangan dan pengembangan kemasyarakatan.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi yaitu berkenaan dengan Internasionalisasi: yang diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional, liberalisasi diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi, universalisasi digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia, westernisasi yang merupakan salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal 
B.     Konflik pada Remaja
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengarah kepada munculnya globalisasi, menimbulkan berbagai konflik pada remaja. Konflik pada remaja oleh beberapa ahli terjadi sebagai wujud pencarian identitas diri pada diri remaja sehingga pada akhirnya ingin mencoba-coba. Konflik juga terjadi dalam diri remaja terjadi karena di satu sisi remaja ingin mengikuti arus globalisasi, ingin gaul/western tapi disisi lain terikat oleh banyak aturan/norma yang berlaku di masyarakat. Apabila remaja tidak western, maka tantangannya ia akan dijauihi oleh teman-teman dalam kelompoknya sehingga dikatakan kolot/kampungan. Apabila mengikuti pola dan tingkah laku western akan lebih banyak lagi aturan tidak sesuai dengan norma/budaya yang ada dalam lingkungan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu remaja perlu diberikan bimbingan yang terarah agar mampu berkembang sesuai dengan tugas perkembangannya tanpa melanggar aturan/norma yang berlaku akan tetapi dapat memaknai globalisasi sebagai sesuatu yang bisa mengembangkan dirinya secara optimal. Bimbingan yang terarah dan komprehensif tersebut dapat diberikan oleh konselor, sebagai tenaga professional dalam layanan bimbingan dan konseling. Layanan yang dapat diberikan antara lain pelayanan dasar, pelayanan responsive, perencanaan individual, serta dukungan system (Depdiknas, 2008:207).

Sumber:
C. Rangarajan. (2006). Responding to Globalization: India’s Answer. Ahmedabad: New Delhi
Depdiknas. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan  Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
http://wikipedia.com/globalisasi di akses tanggal 13 September 2011
Laurence E. Rothenberg. TT. Globalization. Artikel dalam http://globalization101.org diakses tanggal 13 September 2011


Pengembangan Konsep Diri Remaja Melalui Pelayanan Dasar Bimbingan dan Konseling

Afdal

A.    Konsep Dasar
Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kecil dan masa dewasa. Masa remaja juga menentukan sukses atau tidaknya individu menjalani kehidupan pada periode selanjutnya, Pada masa remaja banyak terjadi konflik/masalah dalam kehidupan seseorang individu. Masalah-masalah tersebut beraneka ragam, mulai dari masalah hubungan muda-mudi, masalah keluarga hingga masalah pendidikan dan karir. Masalah-masalah tersebut menurut sebagian ahli merupakan wujud dari pencarian identitas diri dan penentuan konsep diri yag sehat, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus dari pendidik, orang tua, dan masyarakat sekitar agar masa-masa tersebut tidak melenceng dari perkembangannya, memahami identitasnya dan memiliki konsep diri positif.
Konsep diri merupakan pandangan, pemahaman, ide, kepercayaan, keyakinan seseorang tentang dirinya (Alice Sullivan, 2009; Miftah Al Hajir, dkk. TT; Salbiah, 2008;). Konsep diri dianggap penting karena akan menentukan bagaimana bertindak dalam berbagai situasi dan memegang peranan penting dalam pengintegrasian kepribadian individu, di dalam memotivasi tingkah laku serta di dalam pencapaian kesehatan mental (Fasti Rola, 2006). Konsep diri tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi berkembang melalui proses pembelajaran, terutama diperoleh dari bagaimana interaksi antar individu. Berzonsky (dalam Miftah Al Hajir, dkk. TT) mengemukakan empat aspek konsep diri yakni aspek fisik yaitu penilaian seseorang terhadap sesuatu yang dimilikinya, aspek psikis yaitu meliputi pikiran, perasaan dan sikap terhadap dirinya, aspek sosial yaitu peranan sosial yang dimainkan individu dan penilaian orang lain terhadap perannya, aspek moral yaitu meliputi nilai– nilai dan prinsip–prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan seseorang. Selanjutnya Stuart and Sundeen (dalam Salbiah, 2008) membagi konsep diri ke lima bagian yakni, gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar, ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu, harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri, peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat, serta identitas adalah kesadarn akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh.
B.     Layanan Bimbingan dan Konseling.
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan atau kemandirian tersebut, konseli membutuhkan bimbingan dalam menentukan arah kehidupannya sesuai dengan tugas perkembangannya. (Depdiknas, 2008:192).  Layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada konseli berdasarkan prinsip bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli, merupakan proses individual, menekankan kepada hal-hal positif, usaha bersama, pengambilan keputusan oleh konseli serta prinsip bimbingan dan konseling berlangsung dalam berbagai setting kehidupan (Depdiknas, 2008:202-205). Dengan berprinsip hal-hal tersebut maka sudah menjadi sebuah kewajiban bagi konselor untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling komprehensif untuk konseli, termasuk dalam hal pembentukan konsep diri positif.
Dalam membentuk konsep diri yang positif maka konselor dapat memberikan pelayanan dasar, yaitu berkenaan kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur, sistematis, dalam rangka mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai tahap-tahap perkembangannya yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam menjalani kehidupannya. (Depdiknas, 2008:207). Dalam pelayanan dasar ini konseli diberikan pemahaman yang mendalam tentang apa itu konsep diri dan bagaimana cara ia membentuk konsep dirinya yang positif melalui pengalaman terstruktur dan sistematis sesuai tugas perkembangannya.
Sumber:
Alice Sullivan. (2009). Academic self-concept, gender and single-sex schooling. British Educational Research Journal. 35. (2), April 2009. 259–288.
Depdiknas. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan  Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Fasti Rola. (2006). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi pada Remaja. Makalah. Prodi Ilmu Keperawatan USU Medan.
Miftah Al Hajir, dkk. TT. Konsep Diri Etnis Dayak yang Beragama Islam. Artikel. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Salbiah. (2008). Konsep Diri. Makalah. Prodi Ilmu Keperawatan USU Medan

Peran Bimbingan dan Konseling pada Pembelajaran Orang Dewasa

Oleh :  
Afdal

Tuntulah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat (Hadis)

A.    Pembelajaran Orang Dewasa
Mengikuti proses pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab dan keseharian para peserta didik yang dikatakan masih berusia sekolah, akan tetapi proses pendidikan dimulai dari baru lahir sampai menjadi individu menjadi dewasa sesuai dengan tugas perkembangannya. Hal ini jauh-jauh hari memang sudah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah kewajiban hingga dikatakan dalam sebuah hadist, tuntulah ilmu walau ke negeri cina. UNESCO sebagai sebuah induk organisasi internasional dalam bidang pendidikan dan kebudayaan juga telah menetapkan sebuah konsep yang disebut dengan life long learnig (UNESCO, 2002).
Sesuai dengan kebutuhan, untuk membelajarkan orang dewasa maka teori dan pendekatannya berbeda dengan pembelajaran peserta didik/anak-anak pada umumnya. Kalau pembelajaran pada anak-anak disebut pedagogi, sedangkan untuk pembelajaran orang dewasa disebut andragogi. Istilah andragogi berasal dari kata Yunani ”andr” atau ”aner” yang berarti orang dewasa, dan agogusyang berarti ”memimpin/membimbing”. Ini berarti andragogi merupakan seni dan ilmu membantu orang dewasa belajar (Malcolm S. Knowles, dalam Sungkono, 2008).

B.     Peran Bimbingan dan Konseling
Kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling saat ini sudah dikembangkan kepada berbagai jenis, jalur dan jenjang pendidikan, baik itu formal, informal dan non formal, juga pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Hal ini terjadi karena kebutuhan manusia yang semakin berkembang yang dipengaruhi oleh faktor filofosis tentang hakekat manusia, psikologis berkaitan dengan proses perkembangan, sosial budaya yaitu interaksi antar individu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, demokratisasi dalam pendidikan serta perluasan program pendidikan (A. Juntika Nurihsan, 2007:1).
Perkembangan bimbingan dan konseling yang dimaksud juga mengarahkan kepada terpenuhinya pelayanan pada jenjang pendidikan pada orang dewasa (adult learner). Dalam hal ini, tentunya pelayanan bimbingan dan konseling pada orang dewasa akan berbeda dengan pelayanan pada umumnya di jenis pendidikan formal. Hal ini terjadi karena pendekatan pendidikan dewasa berbeda dengan pendidikan anak-anak. Hal yang membedakan diantaranya adalah berkenaan dengan konsep diri, pengalaman belajar yang berbeda, kematangan, kesiapan belajar dan orientasi belajar (Sungkono, 2008; Mahadaly, 2011). Dengan perbedaan itu, maka layanan yang diberikan kepada orang dewasa dalam proses belajarnya juga akan berbeda, seperti lebih banyak muncul masalah yang berkenaan dengan keluarga dan perkawinan, kondisi kesehatan, kelanjutan karir dan persiapan menghadapi pensiun dan masalah lainnya.

C.    Sumber
Sungkono. 2008. Handout Pembelajaran Orang Dewasa. Yogyakarta: UNY
UNESCO. 2002. Integrating Lifelong Learning Perspective. Philipine
A. Juntika Nurihsan. 2007. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Belakang Kehidupan. Bandung: PT Refika Aditama


Culture Identity & Resilience

Afdal

A.    Culture Identity
Membahas tentang identitas budaya, maka tidak akan terlepas dari pemahaman tentang kebudayaan dan identitas budaya bangsa. Kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta, buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti akal. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui belajar. Kebudayaan mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak. Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang sesuatu permasalahan yang dihadapi manusia. (Husamah, 2009; Stuart Hall, TT). Ini dapat diartikan masalah kebudayaan/budaya merupakan masalah kehidupan manusia yang komplek dan dalam pergerakannya akan mempengaruhi suatu bangsa, dari yang terbelakang hingga menjadi bangsa berkembang ataupun bangsa maju.
Selanjutnya, identitas yang berasal dari bahasa Prancis identité diartikan sebagai suatu karakter khusus yang ditampilkan oleh individu/kelompok yang melekat padanya. (Joanna, 2001:1). Selanjutya, Joanna (2001) membagi identity  ke dalam berbagai jenis yaitu Ethnic Identity, Linguistic Identity, National Identity, Regional Identity, Racial Identity, dan Religious Identity. Apabila dikaitkan dengan konsep budaya, maka Culture Identity dapat diartikan sebagai cara berpikir, bertindak/berperilaku individu/kelompok yang sudah menjadi karakter dalam diri mereka masing-masing. Biasanya para ahli juga mengiringi identitas budaya dengan kata identitas nasioanal yang berarti jatidiri nasional atau kepribadian nasional. Jatidiri nasional suatu bangsa tentu berbeda dengan jatidiri bangsa lain. Ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografi. Jatidiri nasional bangsa Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang sama. Pengalaman sejarah yang sama itu dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang  kemudian pada ujungnya melahirkan identitas nasional. Di Indonesia, tentunya Identitas Budaya manusia Indonesia tentunya berdasarkan kebudayaan nasional dengan beragam kebudayaan lokal, terutama dalam hal moralitas, kehidupan sosial, musyawarah mufakat, gotong royong, persatuan dan kesatuan dan nilai-nilai khasanah bangsa lainnya.

B.     Resilience
Daya lentur atau resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi dan mengatasi serta merespon secara positif kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang tidak dapat dielakkan, dan memanfaatkan kondisi-kondisi tidak menyenangkan itu untuk memperkuat diri sehingga mampu mengubah kondisi-kondisi tersebut menjadi sesuatu hal yang wajar untuk diatasi. Resiliensi dipandang sebagai suatu kapasitas individu yang berkembang melalui proses belajar. Melalui berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam menghadapi situasi-situasi sulit, individu terus belajar memperkuat diri sehingga mampu mengubah kondisi-kondisi yang menekan dan tidak menyenangkan menjadi suatu kondisi yang wajar untuk diatasi. Resiliensi dipengaruhi oleh tujuah faktor yaitu pengaturan emosi, pengendalian dorongan, optimisme, analisis penyebab, empati, efikasi diri, dan membuka diri (Suwarjo, 2008: 10-16)

C.    Masyarakat Kita???
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak yang besar terhadap perkembangan budaya dan identitas suatu bangsa. Dengan adanya arus globalisasi, semakin dirasakan adanya perubahan itu, seperti perubahan dalam hal berpakaian, makanan, pergaulan lebih ke arah western dan dampak lain yang terkadang diluar identitas budaya bangsa. Hal ini tentunya akan mencemaskan kita semua, akan kehilangan identitas budaya bangsa sendiri yang berasal dari kehidupan dan latar belakang budaya berbeda dengan budaya bangsa lain. Kehilangan identitas bangsa ini tentunya dipengaruhi oleh resiliensi masyarakat Indonesia terhadap identitas/culture bangsa lain yang tidak sesuai dengan identitas nasional. Hal ini bisa saja terjadi kalau masyarakat Indonesia memiliki Resiliensi yang kurang dan tidak berjalan secara efektif sehingga akhirnya terjadi ketidakjelasan identitas sehingga menimbulkan bicultuarisme.

D.    Sumber

Husamah. Mengusung Kembali Khazanah Identitas Budaya Bangsa. Antara edisi 2 Oktober 2009.
Joanna Rummens. 2001. An Interdisciplinary Overview of Canadian Research on Identity. University of Toronto
Stuart hall. TT. Cultural identity and Diaspora. Framework Journal. No 36
Suwarjo. 2008. Pedoman Konseling Teman Sebaya Untuk Pengembangan Resiliensi. Yogyakarta: FIP UNY

QURANIC COUNSELING SEBAGAI STRATEGI PREVENTIF TERHADAP PENYEBARAN PAHAM TERORISME DI KALANGAN SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS DAN MADRASAH ALIYAH

Daris Tamin
(Mahasiswa S3 Program Studi Bimbingan dan Konseling, SPs UPI Bandung
Angkatan 2011 – NIM: 1107158 )

 


Pendahuluan
Sepanjang satu dekade terakhir, masyarakat dunia secara global, termasuk di Indonesia terus dihantui rasa ketakutan oleh teror bom yang dilakukan kelompok teroris. Sejak meledaknya Gedung WTC pada 11 September 2001, United Nation (PBB) telah menerbitkan beberapa resolusi untuk memerangi aksi terorisme dan para pelakunya secara internasional. Setiap Negara wajib menyelidiki kelompok teroris, mengidentifikasi sumber dana, dan menghentikannya. Kekhawatiran yang sangat besar tersebut diwujudakan dengan difungsikannya kekuatan khusus yang disebut CTITF atau The Counter-Terrorism Implementation Task Force oleh Sekretrais jenderal PBB pada tahun 2005.
Sejak meledaknya bom di Legian Bali, 12 Oktober 2002, Pemerintah Indonesia juga telah mengibarkan bendera perang terhadap aksi terorisme ini. Respon terhadap pemberantasan kejahatan terorisme ini diwujudkan antara lain dengan menaikkan status Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 sebagai sebagai payung hukum terhadap gerakan antiterorime. Kemudian, pada 26 Agustus 2004, Pemerintah Indonesia, melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Tidak hanya itu, dalam rangka menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional, mengkoordinasikan pelaksana kebijakan, serta melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme, pada tahun 2010, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, Pemerintah Indonesia membentuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Badan tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Sejak awal maraknya terorisme, aksi ini ditenggarai bermotif agama karena secara terang-terangan para teroris mengatasnamakan aksinya sebagai “Jihaad Fii Sabiililaah”. Namun, modus teror para penganut terorisme ini pun berkembang tidak hanya menyerang orang atau kelompok orang yang berlainan suku dan keyakinan agama saja, tetapi  yang sama-sama satu keyakinan agama pun turut menjadi sasaran penyerangan. Salah satu buktinya adalah kasus peledakan bom bunuh diri di masjid Adz-Dzikro, Mapolresta Cirebon, Jumat, 15 April 2011. Artinya, terorisme tidak lagi identik dengan perjuangan sekelompok orang yang disebut “Jihadist”, tetapi benar-benar aksi kejahatan yang telah menjadi musuh global (global enemy) bagi umat manusia.
Terorisme bisa dianut dan dilakukan oleh siapa saja, dari penganut keyakinan dan agama mana saja, dan bisa dilakukan atas nama kepentingan apa saja, baik ideologi, ekonomi, maupun politik. Aksi-aksi yang dilakukan oleh IRA di Irlandia, Basque di Spanyol, dan kelompok David Coresh di Amerika Serikat adalah contoh-contoh lain dari aksi terorisme. Termasuk juga aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok Gengster, baik Geng Narkoba, atau Geng Motor di kota-kota besar adalah bentuk lain dari aksi terorisme.  
Indonesia bukan negara yang sedang dilanda peperangan atau penjajahan dalam makna hakiki. Namun keresahan dan ketakutan masyarakat tetap ada seiring sering terjadinya aksi terorisme yang tidak terdeteksi waktu, tempat, dan pelakunya. Ancaman bom dan Aksi bom bunuh diri tiba-tiba saja terjadi dan menjadi berita besar. Motif aksi terorisme secara umum selalu sama, yaitu ideologi perlawanan terhadap kezaliman atas nama jihad. Walaupun demikian, motif ini tidak melulu ideologis tetapi berkembang pada motif lain seiring dengan variansi kasus yang terjadi.
Hal yang menarik dari aksi terorisme bukan hanya motifnya saja tetapi pada kemunculan pelaku-pelaku baru dalam setiap aksi terorisme. Fenomena ini memberikan sinyal bahwa “mesin” terorisme tidak mati tetapi terus memproduksi paham dan semangat bagi kader-kader baru. Walaupun secara fisik terpenjara, ideologi para pelaku terorisme ternyata tidak terpenjara dan tetap liar bahkan menjadi pemompa semangat bagi anggota jaringannya yang belum tertangkap. Uniknya, karena intensitas yang demikian besar, berita aksi terorisme justru menjadi inspirasi bagi orang lain yang sama sekali bukan anggota jaringan dan belum pernah melakukan aksi teror untuk kepentingan yang berbeda.  
Hasil penelitian Dr. Carl Ungerer dari Australian Strategic Policy Institute menjelaskan bahwa program deradikalisasi terhadap para pelaku teroris ternyata tidak mempan. Kesimpulan tersebut dikemukakannya setelah melakukan riset dengan mewawancarai secara mendalam terhadap 33 orang terpidana teroris di Indonesia. Ungerer juga menyebutkan, terorisme sekarang tidak beroperasi di belakang organisasi besar tetapi bergerak dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan 2-3 orang. (Tersedia: www.detiknews.com, 19/05/2011).
Berbagai analisa untuk mencari akar kekerasan dan terorisme terus dilakukan. Ideologi adalah faktor yang paling menjadi sorotan. Penelitian Rudy Harisyah Alam dari Lembaga kajian dan Perdamaian (Lakip) Jakarta menyimpulkan bahwa tingginya tingkat dukungan masyarakat, bahkan masyrakat terdidik, khususnya guru PAI dan siswa muslim pada jenjang SLTP dan SLTA terhadap kekerasan dan tingkat kesediaan untuk terlibat dalam kekerasan dianggap menjadi penyebab terjadinya kekerasan terkait isu agama yang terjadi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan terhadap 590 guru PAI dan 993 siswa di DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi tersebut terfokus pada orientasi keagamaan konservatif diukur dengan tingkat kesetujuan responden terhadap hal-hal berikut: (1) syariat/hukum Islam harus diberlakukan di Indonesia; (2) hukum potong tangan bagi pencuri harus diberlakukan di Indonesia; (3) hukum rajam bagi pezina harus diberlakukan di Indonesia; (4) jam malam bagi perempuan tanpa muhrim harus diberlakukan di Indonesia; dan (5) orang yang berpindah agama harus dihukum. (Media Indonesia, 7 Maret 2011).
Walaupun hasil penelitian survey ini sudah melewati masa kadaluwarsa dan memiliki kelemahan dalam validitas konstruk karena hanya mengambil sebagian kecil dari aspek-aspek syariat Islam sebagai variabel untuk mengukur penyebab terorisme, padahal syariat Islam memiliki kompleksitas hukum yang sangat luas. Selain itu, penelitian ini hanya memberi pilihan setuju dan tidak setuju kepada responden tanpa menjelaskan hikmah-hikmah di balik syariat Islam, tetapi setidaknya hasil penelitian ini menjadi telah bagian dari dinamika dalam fenomena terorisme di Indonesia.
Persoalan utama yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi aksi terorisme ini terkait tiga hal, yaitu: (1) Bagaimana strategi yang efektif untuk mencegah menyebarnya virus terorisme kepada generasi berikutnya. (2) Bagaimana strategi yang efektif untuk merehabilitasi para pelaku yang sudah tertangkap agar tidak lagi melakukan aksi yang sama. (3) Bagaimana menetapkan kebijakan yang adil dan tidak mendiskreditkan satu agama tertentu, maksudnya Islam sebagai sumber inspirasi aksi terorisme. Sebab, secara aksiomatik diakui bahwa tidak ada agama yang mengajarkan tindak kriminal. Jika ketidakadilan dan pendiskreditan itu terjadi maka akan ada pihak yang merasa terzalimi sehingga dapat memicu aksi-aksi terorisme yang lainnya.
Kondisi bangsa dan negara yang aman sentosa sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional dalam semua aspek kehidupan. Jika jaminan keamanan tidak didapatkan maka tujuan untuk mewujudkan bangsa yang hidup penuh kebahagiaan, sejahtera, dan rukun dipastikan tidak akan dapat diwujudkan. Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk menjamin keadaan bangsa dan negara yang aman sentosa harus terus menerus dilakukan. Semua elemen bangsa dan negara harus menunjukkan totalitasnya dalam tugas ini.
Sebagai wahana pembentukan karakter, pendidikan memiliki peran yang sangat vital dalam penanggulangan bahaya terorisme ini, terutama dalam hal mencegah tumbuh berkembangnya pemikiran dan perilaku yang akan menjadi “embrio” bagi tindak kekerasan. Sepanjang proses pendidikan, baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama memiliki kesempatan yang luas untuk mendeteksi potensi kekerasan sekaligus menanamkan karakter peserta didik yang mendukung terwujudnya suasana yang penuh kasih sayang antar sesama warga masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan ras. Dengan demikian, peluang untuk munculnya tindakan terorisme di dapat tereduksi.
Melalui komunikasi interpersonal yang baik, para pendidik dapat membangun hubungan yang dapat membantu, mengarahkan, memfasilitasi, dan menavigasi peserta didik untuk lebih toleran tanpa harus mengadaikan prinsip-prinsip agama yang dianutnya; sabar dalam menghadapi penderitaan; dan lebih mengedepankan akal sehat, bukan amarah dan dendam kesumat dalam merespon setiap kasus yang dianggap merugikan diri atau kelompoknya. Tentunya, fungsi tersebut secara lebih khusus telah menjadi peran dari bimbingan dan konseling sebagai ruh pendidikan yang normatif.
               
Kebutuhan Rasa Aman
Terlepas dari motif dan pelakunya, terorisme telah menyentuh ruang yang fundamental dari fitrah manusia, yaitu rasa aman. Secara naluriah, manusia membutuhkan rasa aman dari segala hal yang dapat mengganggu kenyamanan dan mengancam jiwanya. Dalam perspektif humanis-rasionalisme, Abraham Maslow (1942) telah menempatkan “Safety Needs” atau “Security Needs” sebagai tingkat kedua “Physiological Needs” dalam hirarki kebutuhan dasar manusia.  Dalam A Theory of Human Motivation, Maslow (1943: 370) menjelaskan bahwa individu butuh rasa aman, baik secara personal (aman dari gangguan/kejahatan orang lain dan peperangan), finansial (aman dari kemiskinan), pekerjaan (aman dari penganguran), kesehatan (bebas dari penyakit), bencana alam, kekerasan dalam keluarga, dan lain sebagainya.
Dalam taksonomi Manfred Max-Neef (1991), kebutuhan rasa aman diklasifikasikan sebagai dimensi proteksi. Dalam kualitasnya sebagai pribadi, individu membutuhkan perhatian dan penyesuaian diri serta otonomi. Begitu pula dalam aksi dan interaksinya, individu membutuhkan lingkungan sosial agar bisa bekerja sama dan saling membantu. Tetapi, dalam hal having (thing), individu tetapi membutuhkan proteksi diri dalam bentuk keamanan sosial (social security), sistem yang menjamin kesehatan, dan pekerjaanya. (A. Max-Neef, Antonio Elizalde, Martin Hopenhayn (1991). Tersedia: www.wikipedia.com).
Teori tentang kebutuhan rasa aman bagi manusia, ternyata tidak hanya menjadi konsumsi dalam pandangan humanis-rasionalisme. Kebutuhan rasa aman juga ada dalam perspektif agama wahyu (revealed religion/prophetic religion) yang bersumber dari pengetahuan suci dan sempurna (holy and perpect knowledge) yang bersifat gnosis”, yaitu berdasarkan superioritas Tuhan yang termaktub dalam kitab suci yang diturunkan kepada Rasul untuk disampaikan kepada umatnya.
Berdasarkan hasil telaah, kitab suci yang cukup mendalam membahas kebutuhan rasa aman adalah Al-Quran. Kata yang mengandung makna rasa aman, yaitu “al-amnu”, disebutkan sebanyak 16 kali dalam Surat yang berbeda-beda. Jika ditelusuri dari akar katanya, yaitu kata “amina” maka ditemukan pengulangan kata tersebut dengan beragam perubahannya (semantik) sebanyak 609 kali. Uniknya, kata “al-amnu” yang berarti (rasa aman) memiliki akar kata yang sama dengan iman dan amanah. Hal tersebut mengandung pengetian bahwa amanah adalah bukti keimanan. Dan, manusia yang ingin aman maka syaratnya harus beriman kepada Allah (Tuhan) yang telah menciptakannya dan harus menunaikan amanah untuk menjalankan kewajiban dari Allah, Tuhannya.
Konsep rasa aman dalam Al-Quran tidak hanya dinisbatkan di dunia saja tetapi rasa aman juga dinisbatkan sampai di akhirat. Rasa aman di dunia dikaitkan dengan kemudahan mencari rezeki. Jika sebuah negeri aman sentosa maka rezeki akan diturunkan secara melimpah. Pendududuknya akan terbebas dari gangguan orang-orang jahat dan tiran, terbebas dari perampokan, terbebas dari kelaparan dan ketakutan dan penyakit, serta terbebas dari bencana dan malapetaka. Adapun rasa aman di akhirat adalah terbebasnya manusia dari ancaman neraka. Artinya, manusia yang terbebas dari ancaman neraka maka akan mendapatkan kehidupan yang aman sentosa di surga.
Selain dalam Al-Quran, konsep rasa aman juga disebutkan dalam tafsir otentik Al-Quran, yaitu Al-Hadits. Dalam hadits riwayat At-Tirmidzi (5/504) dan Ad-Darimi (1/336) disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengajarkan kepada umatnya agar selalu berdoa meminta keamanan dan keselamatan setiap kali tiba bulan baru (hilal). Maksudnya, dalam sebulan ke depan dimohonkan agar aman dari segala bencana dan marabahaya yang bersifat fisik. Kemudian, pada sebulan ke depan dimohonkan agar selamat dari bencana dan marabahaya yang sifatnya psikis dan spiritual yang akan mengganggu dan mengancam keimanan. Doa tersebut dicontohkan untuk dibaca setiap awal bulan selama rentang waktu tiga hari pertama.
Kebutuhan rasa aman memiliki kedudukan yang sangat fundamental bagi umat manusia. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa seolah-olah tidak ada kehidupan tanpa rasa aman. Bagaimanapun manusia tidak akan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal jika situasi dan lingkungannya tidak memungkinkan untuk memberikan dukungan keamanan dan kenyamanan. Berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, bahkan pendidikan dan spiritual tidak akan berjalan kondusif jika setiap jiwa terus menerus dihantui oleh rasa takut, resah, dan penuh kekhawatiran.
 Dapat dibayangkan seorang anak yang tumbuh berkembang dalam situasi peperangan atau penjajahan. Setiap saat, mereka dihantui rasa takut oleh datangnya serangan musuh dan meledaknya bom yang akan mengancam jiwanya dan meruntuhkan bangunan sekolahnya. Secara empirik, keadaan seperti itu dipastikan tidak akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Bahkan, boleh jadi zeitgeist seperti itu justru menumbuhkembangkan sikap dan tindakan radikal yang sama karena perasaan takut sering kali berubah menjadi perlawanan.
Secara historis, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat cinta damai dan menjadi pelopor perdamaian. Jiwa patriotik yang telah tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan telah mendorong karakter bangsa yang menjunjung tinggi perdamaian. Sebagai bangsa yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan yang kokoh, bangsa Indonesia akan berusaha untuk menghadirkan situasi yang mendukung ketenangan dalam beribadah, kenyamanan dalam berinteraksi sosial dan ekonomi, dan ketenteraman dalam membesarkan dan mendidik anak-anak sebagai genarasi pelanjut kehidupan di masa yang akan datang.   

Pengertian Terorisme
Secara etimologis,  kata teror berasal dari bahasa Anglo-Perancis, terror. Dalam bahasa Latin, kata teror berasal dari kata terrÄ“re yang artinya to frighten (menakut-nakuti). Sedangkan dalam bahasa Yunani, kata teror berasal dari kata  trein yang berarti to be afraid (takut) bisa juga berarti flee (melarikan diri karena takut), atau tremein yang berarti to tremble (gemetar karena ketakutan). Kata terror bersinonim dengan kata fear yang berarti takut. (Tersedia: www.britannica.com). Sedangkan dalam Merriam-Webster,  kata terror bersinonim dengan kata affliction (penderitaan), hang-up, demon (setan), dan torment (siksaan).
Berdasarkan pengertian etimologis, teror dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menyebabkan ketakutan mendalam. Teror dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang menginspirasi ketakutan; penyebab kecemasan dan kekhawatiran; tindakan yang mengerikan; tindakan anak nakal; tindakan kekerasan atau destruktif (seperti pemboman) yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam rangka mengintimidasi kelompok lain atau suatu etnis. (Tersedia: www.britannica.com).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Sedangkan terorisme artinya penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik. Terorisme juga dapat diartikan praktek-praktek tindakan teror. (KBBI: 1994: 1048). 
Dalam bahasa Arab, terorisme disebut irhaab. Kata irhaab adalah pecahan (abstact noun) dari kata arhaba-yurhibu, yang berarti menakut-nakuti. Asal kata arhaba-yurhibu sendiri adalah rahiba-yarhabu. Ibnu Manzhur berkata dalam Lisanul Arab menjelaskan bahwa rahiba-yarhabu-rahbatan artinya takut. Ungkapan rahibasy-syai-a rahban berarti merasa takut terhadap sesuatu. Ibnul Atsir menjelaskan bahwa ar-rahbah artinya takut.  Al-Asfahani (tt: 209) dan Al-Fairuz Abadi (2005: 86) menjelaskan bahwa kata irhaab digunakan muntuk menggambarkan seekor unta yang terperanjat bangun dari tanah karena sangat ketakutan.
Dengan demikian, pengertian teror secara bahasa tidak berbeda antara bahasa Inggris dan bahas Arab. Dalam Kamus Al-Maurid, Kamus Arab-Inggris disebutkan bahwa tindakan terror diartikan irhaab dan pelakunya, yaitu terrorist diartikan irhaabiy yang merupakan nisbat bagi pelaku aksi terorisme.
Walaupun secara bahasa pengertian terorisme tidak menunjukkan perbedaan namun untuk memastikan pengertian terorisme secara definitif yang disepakati secara umum diakui cukup sulit. Hal tersebut disebabkan karena masing-masing pihak yang mendefinisikan terorime memiliki perspektif dan kepentingan masing-masing. Misalnya, dalam The American Heritage; Dictionary of the English Languange Versi 2000 dijelaskan bahwa terorisme adalah: “The unlawful use or threatened use of force or violence by a person or an organized group against people or property with the intention of intimidating or coercing societies ofr governments, often for ideological or political reasons. Kemudian pada Versi 2005, definisi terorisme mendapatkan tambahan penjelasan sebagai berikut:
“Acts of  violence committed by groups that view themselves as victimized by some notable historical wrong Although these groups have no formal connection with government, they usually have the financial and moral backing of sympathetic governments. Typically, they stage unexpected attacks on civilan targets, including embassies and airlines, with the aims of sowing fear and confusion. Israel has been a frequent target of terrorism, but the United State has increasingly become its main target….”

Dalam definisi tersebut terlihat jelas adanya perubahan definisi terorisme. Pada Versi sebelumnya tidak dijelaskan secara spesifik ciri dan sifat pelaku dan korban. terorisme hanya  diartikan sebagai tindakan penyerangan dan pemaksanaan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara terorganisir dengan tujuan mengintimidasi dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat untuk tujuan ideologis maupun politik. Namun, pada Versi berikutnya ada penambahan lebih spesifik mengenai motif, ciri dan sifat pelaku terorisme, serta secara tergas disebutkan juga korbannya, yaitu Israel dan Amerika.
Definisi tersebut jelas berbeda secara diametral dengan perspektif pihak-pihak yang selama ini bersengketa dengan Israel dan Amerika. Misalnya dengan rakyat Palestina yang selama ratusan tahun diperangi dan direbut tanah airnya oleh Israel dengan dukungan dan bantuan Amerika. Bagi rakyat Palestina, makna terorisme akan dinisbatkan kepada Israel sebagai pelakunya dan mereka sebagai korbannya. Dalam pandangan Isreal, rakyat Pelstina yang melakukan perlawanan kepada mereka adalah teroris. Sebaliknya, bagi rakyat Palestina penjajahan atas tanah air mereka adalah bentuk terorisme.
Jika demikian keadaannya, memahami terorisme tidak dapat dipandang dari satu sudut pandang tetapi harus komprehensif dan kontekstual. Sebab, jika tidak dipahami secara komprehensif dan kontekstual, akan terjadi penyempitan makna terorisme sebagai tindakan kriminal kepada pihak-pihak yang sebetulnya menetang terorisme bahkan menjadi korban terorisme. Kondisi seperti ini tidak boleh terjadi karena akan menjadi pemicu terjadinya terorisme-terorisme baru.
Pengertian terorisme harus ditempatkan apa adanya sebagai tindakan menghalalkan segala cara dengan pemaksanaan dan kekerasan yang mengakibatkan  terlanggarnya hak asasi manusia untuk hidup aman dan tenteram. Terorisme harus ditempatkan sebagai pelanggaran terhadap fitrah insaniah. Terorisme tidak boleh diarahkan hanya pada satu agama saja karena konsep kekerasan dan fundamentalisme juga ada dalam agama-agama.
Sebagai contoh, dalam agama Hindu ada hukum potong lidah dan tetak pedang pada pinggul seorang Sudra yang berkata kasar kepada seorang Brahmin. Atau jika seorang Sudra berani mengingatkan seorang Brahmin tentang ajaran agamanya maka hukumannya adalah mulut Sudra tersebut akan dituangi minyak panas. Dalam Gotama Smarti: 12, juga disebutkan adanya hukuman potong badan lidah dan badan bagi seorang Sudra yang berusaha membaca mantera-mantera Weda. Dalam agama Budha terdapat ajaran Atidana, yaitu keharusan menyerahkan anak dan istri kepada Brahman yang meminta kepadanya.
Dalam agama Yahudi terdapat hukuman mati untuk tidak membawa korban sembelihan untuk Tuhan (Imamat 17: 8-9).  Hukuman mati juga berlaku bagi orang yang memakan daging korban sampai pada hari ketiga (Imamat 19: 5-8). Hukuman mati juga berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang berzina (Imamat 20: 10). Dalam ajaran Nashrani terdapat hukuman cungkil mata bagi orang yang memandang perempuan dan menginginkannya (Kejadian 17: 4). Adanya ajaran peperangan juga disebutkan dalam Matius 10: 34-36) yang menyebutkan bahwa, “Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi; aku datang bukan untuk membawa damai melaikan pedang. Sebab aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.”
Jika hukum-hukum tersebut dipahami sebagai tindakan kekerasan maka dapat dipastikan bahwa seluruh agama-agama mengajarkan terorisme. Oleh sebab itu, memahami tindak terorisme benar-benar dituntut untuk menyeluruh dan dikaitkan dengan konteks dan latar belakang munculnya ajaran-ajaran yang dianggap memberikan inspirasi bagi tindak kekerasan dan kejahatan tersebut.
Dalam Al-Quran, juga disebutkan dalam beberapa ayat yang mengandung konteks makna khusus tentang kekerasan yang tentunya berbeda dengan makna terorisme yang dipahami kebanyakan orang sebagai tindak kejahatan. Beberapa ayat yang dimaksud, antara lain QS. Al-Anfal [8]: 60 yang menjelaskan tentang perintah Allah untuk melakukan persiapan untuk menghadapi musuh. Dalam ayat tersebut terdapat kata “turhibuun” yang berarti mambuat gentar musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir yang memerangi kaum Muslimin. Ada pula QS. Al-‘Araf [7]: 116 yang menjelaskan tentang peristiwa yang dialami Nabi Musa a.s ketika menghadapi tukang sihir Fir’aun. Dalam ayat tersebut terdapat kata “wastarhabuuhum” yang artinya benar-benar membuat mereka (tukang sihir) ketakutan.
Dalam konteks lain, seperti terdapat dalam QS. Al-Hasyr [59]: 13. kata rahbah yang seakar dengan irhaab juga digunakan untuk menggambarkan rasa takutnya orang-orang kafir. Dinyatakan bahwa rasa takut itu seharusnya bukan kepada manusia tetapi kepada Allah. Tetapi, orang-orang kafir hanya takut kepada kaum muslimin. Maksudnya, hanya takut kepada aksi fisik kaum muslimin yang begitu hebat memiriskan hati daripada takut kepada Allah.
Jadi, konteks takut dan menakut-nakuti dalam Al-Quran berbeda dengan pengertian secara bahasa atau pengertian manusia pada umumnya. Sebab, konotasi takut dan menakut-nakuti dalam perspektif Al-Quran tidak dalam pengertian kriminal tetapi mengandung pengertian khusus dalam konteks peperangan yang sebenarnya bukan dalam konteks damai. Selain itu, pengertian takut dalam konteks keimanan merupakan sebuah sikap mulia dalam ibadah, yaitu rasa takut hendaknya hanya dinisbatkan kepada Allah saja agar mendapat rasa aman dari-Nya.

Akar Masalah Terorisme
Munculnya suatu tindakan terorisme selalu disebabkan oleh dua motif, yaitu intrinsik dan ektrinsik. Keduanya saling mempengaruhi atau saling menguatkan satu sama lain. Bangsa Belanda selama ratusan tahun melakukan tindak terorisme dalam bentuk imprealisme kepada bangsa Indonesia. Salah satu faktor dari sekian banyak faktor intrinsik yang melatarbelakangi tindakan imperialisme karena bangsa Belanda membutuhkan dana besar untuk membuat drainase raksasa karena wilayah negaranya sering terkena banjir dari laut. Kebetulan secara ekstrinsik bangsa Indonesia pada saat itu masih dalam keadaan lemah sehingga mereka memungkinkan untuk ditekan dan ditakut-takuti sehingga kekayaan alamnya mudah untuk dirampas.
                Tindak terorisme yang dilancarkan terhadap pemerintah Britania di Irlandia oleh separatis Irish Republican Army (IRA) pada rentang tahun 1919 sampai tahun 1921 dilatarbelakangi oleh tuntutan kemerdekaan dari kekuasaan Britania. Demikian juga yang dilakukan oleh etnis Basque di Spayol pada awal abad pertengahan atau abad ke-15. Tindakan teror mereka dilatarbelakangi tuntutan kemerdekaan dari Pemrintahan Kerajaan Spanyol. Adapun aksi teror yang dilakukan Sekte Keagamaan Davidian yang dipimpin David Koresh di Amerika Serikat yang berakhir tahun 1993 dilatarbelakangi oleh ideologi bahwa dia adalah seorang nabi terakhir (Tersedia: www.wikipedia.com). Secara intrinsik mereka menginginkan kemerdekaan dan pengakuan terhadap eksistensinya, namun karena secara ekstrinsik ternyata mendapat penekanan dan itimidasi, maka terjadilah aksi terorisme tersebut.
                Aksi terorisme dengan modus bom bunuh diri yang masih terjadi di Indonesia, tentu juga tidak terlepas dari dua faktor, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Jika menganalisa aksi yang notabene dilakukan oleh sekelompok muslim yang mengatasnamakan “jihad fii sabiilillaah” merupakan bentuk respon atas tindakan Israel, Amerika, dan Barat Kristen di Eropa yang dianggap telah melakukan penzaliman, penjajahan, dan pembunuhan di beberapa wilayah kaum muslimin, seperti Palestina, Chechnya (Syisyan), Afghanistan, Iraq, Pakistan, dan beberapa wilayah lainnya.
                Secara intrinsik, para pelaku teror adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman spiritual Islam yang cukup mendalam. Hal tersebut diperkuat oleh pengalaman mereka terjun langsung di medan peperangan Afghanistan dan beberapa tempat lainnya. Mereka berjibaku dalam membela saudara-saudara mereka yang teraniaya oleh tentara Uni Soviet saat itu. Hidup mereka ada di bawah desingan peluruh dan rudal. Jiwa dan raga mereka dipertaruhkan di antara ledakan-ledakan bom yang menghancurkan kampung saudara-saudara seiman yang mereka bela tersebut.  Artinya, tingkat penghayatan mereka terhadap nilai-nilai syariat Islam tentu sangat berbeda dengan kaum muslimin yang tinggi mengalami pengalaman spiritual seperti mereka.
Lantas, ketika mereka ditakdirkan selamat dan kembali ke Indonesia lalu menyaksikan fenomena kaum muslimin yang dianggap tidak menjalankan syariat Islam dan hidup dalam gaya Barat, maka sensitivitas keagamaan mereka terusik kembali. Kemudian, pada saat yang sama, secara ekstrinsik saudara-saudara mereka masih tetap teraniaya di kampung halaman mereka sendiri, seperti Palestina yang masih dalam penguasaan Israel, serta Afghanistan dan Iraq yang diserang Amerika, maka semangat perlawanan kembali membara. Ibarat api yang disiram minyak, maka membaralah semangat pembelaan itu dengan menyerang simbol-simbol kekuatan dan pendukung musuh Islam walaupun Indonesia bukan wilayah peperangan.  
Cita-cita untuk menegakkan syariat Islam, menunjukkan penentangan terhadap kebatilan, dan membela untuk saudara seiman yang sedang dizalimi merupakan sikap yang terpuji karena dua hal tersebut memiliki kedudukan hukum yang khusus dalam syariat Islam. Namun, mengapa manifestasi dari sikap terpuji tersebut ditentang oleh otoritas ulama, baik pada level nasional maupun internasional?
Komisi Fatwa Majelis Ulama se-Indonesia (MUI) menetapkan dalam Fatwa No. 3 tahun 2004 bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif). Hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara.
Komisi Fatwa Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia (Hayyih Kibaaril ‘Ulamaa’ bil-Mamlakah as-Su’uudiyyah) pada Daurah ke-59, tanggal 11 Jumadits Tsaniyah 1424 H di Thaif, menetapkan fatwa bahwa tindakan bom bunuh diri yang membunuh banyak orang yang dianggap jihad adalah tindakan jaahil (tanpa ilmu), sesat, dan bukan termasuk jihad yang benar menurut syariat. Aksi terorisme merupakan tindakan terlaknat karena dilakukan tanda dasar ilmu dan lebih mengikuti hawa nafsu.  
Jika merujuk dua fatwa dari dua lembaga yang secara legal memiliki otoritas untuk memberikan fatwa dalam masalah-masalah syariat, jelas sekali bahwa aksi terorisme yang dilakukan oleh sekelompok muslim tersebut tidak termasuk jihad. Mereka dianggap tidak memiliki dasar kelimuan yang benar dan cenderung mengikuti hawa nafsu dalam tindakan yang dianggapnya jihad tersebut.
Jika demikian, apa yang sebenarnya membuat mereka begitu mudah terpicu untuk melakukan aksi yang dianggapnya sebagai respon terhadap kezaliman musuh-musuh Islam? Para ulama telah memberikan jawaban atas pertanyaan ini bahwa apa dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin yang melakukan aksi terorisme atas nama jihad tersebut, disinyalir mirip dengan apa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dalam sejarah disebut Khawarij. Pernyataan ini tidak berarti bahwa mereka adalah wujud dari kelompok Khawarij masa lalu di masa kini. Tetapi ciri-ciri perilaku yang mereka tampakkan memiliki kesamaan dengan Khawarij di masa sejarah Islam yang kemunculannya sudah terdeteksi sejak Rasulullah masih hidup bersama para sahabat.
Berdasarkan hadits-hadits yang berkaitan tentang Khawarij, maka ciri-ciri Khawarij dapat diidedntifikasi sebagai berikut: (1) suka mencela dan menganggap sesat para pemimpin; (2) berprasangka buruk; (3) berlebihan dalam beribadah; (4) Bersikap keras terhadap kaum muslimin; (5) minim pengetahuan tentang fikh; (6) rata-rata berusia muda dan bernalar rendah; (7) fasih dalam berbicara dan berbahasa sehingga dikatakan bahwa ucapannya lebih cepat merambat sampai ke hati-hati manusia daripada rambatan api ke batang kayu. (Abu Umar Basyir, 2008: 169-171).   

Jihad versus Terorisme
Menurut Abdul Muhsin Al-Hanif (1426: 16), secara etimologis, kata jihad adalah masdar (asal kata) dari jaahada artinya berat, sulit, sungguh-sungguh. Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan ulama tentang pengertiannya. Iman Hanafi mendefiniskan jihad sebagai ajakan (dakwah) kepada agama yang hak dan berperang dengan orang-orang yang menentang al-haq (kebenaran) sehingga menerima, baik jiwa maupun harta.
                Imam Malik menjelaskan bahwa jihad adalah berperangnya seorang muslim dengan kafir untuk meninggikan kalimat Allah, menghadirkannya atau memasuki tanahnya. Imam Asy-Syafii mendefinisikan jihad sebagai berperang untuk menegakkan agama. Sedangkan Imam Hanafi menjelaskan bahwa jihad adalah memerangi orang-orang secara khusus.
                 Sedangkan Terorisme adalah tindak permusuhan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau negara sebagai bentuk menakut-nakuti manusia, baik pada aspek agamanya, akalnya, hartanya, dan kehormatannya. Termasuk di dalamnya tindakan menyakiti, menakut-nakuti, mencelakai, mengancam, dan membuhun tanpa alasan yang dibenarkan. Termasuk bentuk-bentuk banditisme seperti menebarkan ketakutan dan pencegatan di perjalanan dan setiap perbuatan kekerasan atau ancaman sebagai kejahatan yang terstruktur dan terencana baik dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan menimbulkan kengerian dan intimidasi dengan cara menyakiti. Termasuk di dalamnya bentuk pengekangan terhadap kehidupan, kebebasan, keamanan, keadaan yang membahayakan, dan kondisi yang sengaja menyebabkan kesulitan dengan rusaknya fasilitas dan proferti untuk masyarakat umum.
                Setiap perbuatan merusak bertentangan ajaran Allah swt. sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran: “Dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qoshosh [28 ]: 77
Dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya balasan bagi orang-orang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai suatu penghinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang berat. (QS. Al-Maidah [5]: 33).  

Macam-macam Jihad
Menurut Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah (Abdul Muhsin Al-Hanif (1426: 31-35) menjelaskan bahwa jihad itu memiliki bentuk yang beragam dan bertingkat, yaitu:
1.             Jihad melawan orang-orang kafir dengan harta dan jiwa, termasuk dengan lisan.
2.             Jihad melawan hawa nafsu dengan tingkatan sebagai berikut, yaitu: Pertama, berjihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar; Kedua, berjihad untuk mengamalkan ilmu yang sudah diketahuinya; Ketiga, berjihad untuk berdakwah dan mengajarkan agama kepada orang yang belum mengetahuinya; Keempat, berjihad untuk sabar ketika mendapat kesulitan dalam berdakwah.
3.             Jihad melawan setan yang terbagi dua tingkatan jihad, yaitu: Pertama, jihad melawan segala bentuk serangan setan untuk memasukkan syubhat-syubhat dan keraguan-keraguan yang bertujuan menghancurkan keimanan dan keyakinan seorang muslim. Dan kedua, jihad melawan serangan setan untuk menimbulkan keinginan untuk berbuat kerusakan dan mengikuti hawa nafsu setelah seorang muslim mampu bersabar.
4.             Jihad melawan orang-orang munafik yang memiliki empat tingkatan, yaitu: (a) dengan hati; (b) dengan lisan; (c) dengan harta; (d) dengan jiwa. Jihad ini lebih khusus dengan lisan.
5.             Jihad melawan orang fasik, yaitu berjuang untuk kezaliman, pengingkaran terhadap sunnah Rasulullah, dan kemungkaran. Tingkatan jihad ini dapat dilakukan dengan kekuatan tangan (fisik) jika mampu. Jika tidak mampu dialihkan dengan lisan. Dan, jika tidak mampu juga dapat dilakukan dengan hati. Menurut Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qaasim, jihad terhadap kaum fasik ini didahulukan dengan tangan, kemudian dengan lisan, lalu dengan hati.

Keadaan-keadaan yang Menuntut Ditegakkannya Jihad
Muhammad Abdul Muhsin Al-Munif (1426: 66) menjelaskan beberapa keadaan yang pantas dan layak ditegakkanya jihad, antara lain: (1) wajibnya jihad karena imam kaum muslimin menyerukannya. Keadaan ini disepakati oleh semua imam madzhab tanpa ada perbedaan pendapat. (2) apabila bertemu dengan pasukan musuh maka diharamkan untuk lari. (3) Apabila orang-orang kafir memasuki negeri kaum muslimin dan menganggu keluarga maka wajib memerengi dan melawannya. Keadaan ini disepaki oleh empat imam madzhab.

Bom Bunuh Diri: Jihadkah?
Robert A Pape dalam artikelnya yang berjudul The Strategic Logic of Suicide Terrorism, dimuat dalam American Political Science Review, edisi Agustus 2003, ia menyatakan bahwa meski ada motivasi agama dalam bom bunuh diri, tetapi dalam banyak kasus bom bunuh diri modern. Motivasi keagamaan ternyata nyaris tidak ada. Media massa AS   yang meberikan perhatian besar pada bom bunuh diri yang dilakukan oleh Hamas dan Hizbullah, ternyata secara tidak disadari faktanya menunjukkan bahwa bom bunuh yang paling banyak justru dilakukan oleh para pejuang LTTE (liberation Tigers of Tamil Eelam). (Abu Umar Basyir, 2008: 83).
                Jihad adalah aksi yang berisiko kematian. Bagi seorang muslim hal ini bukanlah sembarangan. Artinya segala kemungkinan yang akan menyebabkan kematian seorang muslim menjadi sia-sia harus dihindari. Sebab, bagi seorang muslim pilihannya adalah harus masuk surge dan tidak masuk neraka. Oleh sebab itu, aksi-aksi jihad harus dilakukan dengan niat ikhlas membela agama dan tata caranya sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah.
                Bom bunuh diri sering diidentikkan dengan aksi syahid. Masalah ini telah dibahas oleh para ulama dengan memberikan fatwa bahwa hal ini berlaku pada peperangan hakiki ketika seorang muslim sudah berhadapan dengan musuh dan memungkinkan bermanfaat untuk meraih kemenangan dan menimbulkan kegentaran pada jiwa musuh. Jika hal ini tidak dalam peperanagan dan tidak menimbulkan ketakutan yang besar dalam jiwa musuh maka hukumnya haram.

Tindakan Terorisme dalam Perspektif Psikologis
Keputusan Fatwa MUI dan Komisi Fatwa Saudi Arabia yang mencela dan memutuskan bahwa tindakan kaum muslimin yang melakukan tindak terorisme adalah kebodohan, kesesatan, dan tindakan mengikuti hawa nafsu (bentuk ketidaksabaran dalam berjuang) menunjukkan bahwa kemampuan penyesuaian diri dan mental para pelaku tersebut tidak sehat.
                Syamsu & Juntika (2005: 211) menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal, yang baik (well adjusted) apabila dia mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri sendiri dan lingkungannya serta sesuai dengan norma agama.
                Secara lebih terinci, ciri-ciri perilaku para teroris tersebut cocok dengan gejala-gejala perilaku agresif. M. Surya (1976) dalam Syamsu & Juntika (2005: 219) menjelaskan ciri-ciri perilaku agresif, antara lain: (1) selalu membenarkan diri sendiri; (2) mau berkuasa dalam setiap siruasi; (3) mau memiliki segalanya; (4) bersikap senang mengganggu orang lain; (5) menggertak baik dengan ucapan maupun perbuatan; (6) menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka; (7) menunjukkan sikap menyerang dan merusak; (8) keras kepala; (9) bersikap balas dendam; (10) memperkosa hak orang lain; (11) bertindak serampangan (impulsif); (12) marah secara sadis.
                 
Program Konseling Preventif
Konseling memiliki fungsi preventif untuk melakukan berbagai upaya pencegahan munculnya perilaku menyimpang akibat mental yang kurang sehat. Apalagi jika terjangkit pada peserta didik maka hal itu akan menghambat perkembangnnya. Fungsi pereventif berfungsi agar peserta didik tidak berkembang ke arah yang menyimpang, tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan atau menghambat perkembangannya. Nana Syaodih (2007: 25) menjelaskan bahwa perkembangan individu bersifat netral, karena adanya berbagai macam pengaruh yang dating dari lingkungannya, perkembangan tersebut dapat mangarah kepada yang positif-konstruktif atau kea rah negatif-destruktif. Jauh sebelum terlibat dalam perbuatan yang negatif-destruktif, guru-guru dan konselor pendidikan memberikan peneranagan, pengarahan, peringatan, dan berbagai bentuk kegiatan pencegahan dan penyaluran.
Fungsi preventif dalam konseling dapat diwujudkan kegiatan-kegiatan yang diarahkan secara khusus untuk mengidentifikasi kelompok yang rentan dan berisiko tinggi dalam masyarakat yang belum dicap sebagai psychiatrically illness dan untuk diberikan tindakan dalam rangka menghindari timbulnya gangguan emosional dan untuk meningkatkan tingkat kesehatan mental yang positif. Program ini adalah promosi bagi kesehatan mental lebih pada bentuk pendidikan daripada klinis dalam konsepsi dan operasinya. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi krisis dan untuk mengambil langkah-langkah dalam memperbaiki kehidupan mereka sendiri.
Program konseling preventif adalah program yang di dalamnya mengandung teknik terstruktur, berproses, situasi dan peristiwanya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menghasilkan stabilitas temporal, penyesuaian diri secara pasikologis, efektivitas, kebahagiaan dan keterampilan untuk mengatasi individu yang belum terpengaruh.
Mengutif Albee (1985) dan Albee dan Gullotta (1997) dalam  Conyne (2004: 25) hendaknya program konseling preventif dapat menekankan kejadian yang mereduksi sebagai kunci dalam program preventif. Albee menyajikan persamaan
yang sering dikutip untuk mencegah masalah yang terjadi kejadian, dengan mengurangi kekuatan faktor-faktor yang terkandung dalam pembilang sekaligus memperkuat faktor-faktor dalam penyebut. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut:

                           Organic Factors + Stressor + Exploitation
Incident =  
                         Coping Skills + Self Esteem + Group Support
 




Konseling Preventif adalah tujuan pencegahan dalam kehidupan sehari-hari dan bentuk pelayanan agar orang menjadi lebih berdaya untuk berinteraksi secara efektif dan tepat dalam berbagai tingkatan sistem, baik mikro, meso, exo, dan makro dan pada seting individu, keluarga, sekolah, masyarakat, dan bekerja. Aplikasinya konseling preventif ini dapat menghasilkan pengurangan terjadinya kasus baru, baik durasinya maupun tingkat keparahannya, serta dapat mendukung kekuatan manusia sehingga berfungsi secara optimal.

Quranic Counseling sebagai Strategi Preventif Terorisme di Sekolah
Program konseling preventif untuk mencegah atau sebagai bentuk kontra terorisme sejak dini dapat dilakukan di persekolahan, terutama sekolah menengah atas, baik SMA, SMK, MA, maupun MAK. Program-program tersebut harus terstruktur dan terprogram dengan baik, memiliki tujuan yang jelas, dan dapat dievaluasi secara tepat. Lebih dari itu, dikarenakan masalah yang dihadapi berkaitan dengan ideologi, maka teknis-teknis dalam program harus diintegrasikan dengan pendekatan spiritual dengan mengambil penafsiran ayat-ayat dan hadits yang dijadikan landasan bagi aksi para teroris tersebut.
Program konseling preventif untuk mencegah terorisme di sekolah, secara teknis dapat mengadopsi beberapa model yang pernah dilakukan untuk membantu peserta didik yang mengalami gejala  gangguan emosional dan berperilaku agresif. Model-model tersebut, antara lain: LST (Life Skills Training) dari Botwin & Kantor (2000)  STEP (School Transitional Environment Program) dari Felner & Silverman, 2000).
LST adalah program tiga tahun dimaksudkan untuk menengah dan SMP dan SMA yang bertujuan untuk mencegah penggunaan narkoba. Melalui pendekatan adopsi, Life Skills Training dapat diaplikasikan untuk mencegah munculnya potensi terorisme di kalangan siswa SMP dan SMA di Indonesia. Pelatihan bias diarahkan untuk mengembangkan kecakapan hidup untuk selalu mengedepankan ilmu sebelum bertindak dengan memberi pemahaman yang benar mengenai hakikat kekafiran, hakikat jihad dan syarat menegakkannya (jihad ilmu), hakikat mati syahid; lebih bersabar ketika menghadapi ujian, tantangan, dan penderitaan; tidak mudah mengkafirkan orang lain; lebih toleran dan menghargai perbedaan; dan lebih mengedepankan akal sehat ketika akan melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Melalui pendekatan Islamic studies dan psychoeducation dalam kelompok diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pribadi dan sosial secara generik. Penggunaan teori belajar sosial dan teori behavioral problem, pelatihan diarahkan untuk membantu siswa mengelola marah, terutama kemarahan sosial, membangun kesadarn tentang konsekeunsi negatif dari tindakan teror.
 Program ini dapat diaplikasikan dalam 15 sesi selama satu tahun melalui bentuk kursus mini. Dalam model pendidikan Islam, aplikasi ini dikenal dengan istilah halaqoh.  Adapun area materi yang bias dicakup oleh mini-kursus ini, antara lain: (1) komponen pengetahuan dan informasi (knowledge and information), (2) komponen pengambilan keputusan (decision making), (3) komponen pengarahan untuk perubahan perilaku secara mandiri (self-directed behavior change), (4) komponen yang terkait dengan keterampilan mengelola amarah (coping with angry), dan (5) komponen keterampilan sosial (social skills).

Pelaksaaan konseling preventif untuk mencegah potensi terorisme di kalangan pelajar ini menimbulkan implikasi bagi konselor dan helper lainnya, antara lain: (1) memiliki pengetahuan terkait pemicu aksi terorisme sehingga mampu memberikan arahan dan penafsiran yang benar, (2) berperilaku secara ikhlas, jujur, terpercaya, empatik, dan responsif dalam memberikan perhatian bagi pengembangan kekuatan individu

Bahan Bacaan
Al-Quran dan Terjemahannya, Kemeterian Agama Republik Indonesia.
Al-Abiikaan, Abdul-Muhsin ibnu Naashir. (Tanpa Tahun), Al-Khawaarij wal-Fikrul-Mutajaddid, Kuwait: Maktabah Ibnul Qoyyim.
Abu Umar, Basyir. (2008). Teroris Melawan Teroris. Solo: Mawazin.
Al-Asfahani. (tt). Mu’jam Mufahrasy Alfaazhil-Quraan, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Fairuz Abadi. (2005). Al-Qaamuus Al-Muhiith, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Hanif, Abdul Muhsin. (1426). Al-Jihaad, Madinah: Al-Jaami’ah Islamiyah.
Aman, Abdurrahman (tt). Majmu’ah al-Risaalah al-Qowiyyah Dhiddu asy-Syubhi al-Ghowiyyah: Hukmu Takfiiril Mu’iin wal Farqu Baina Qiyaamul Hujjah wa Fahmul-Hujjah. Jakarta: Tanpa Nama Penerbit.
Bajmuul, Abu Umar Ahmad ibnu Umar. (Tanpa Tahun), Al-Madaarij li Kasyfu Syubuhaat lil-Khawaarij, Tanpa Kota: Tanpa Nama Penerbit.
Boucek, C. (2011). Cargenie Guide to the Saudi Eleven. Tersedia:  http://www. carnegieendowment.org/2011/09/07/carnegie-guide-to-saudi-eleven/53nw, [12 September 2011].
Boucek, C. (2008). Saudi Arabia’s “Soft” Counterterrorism Strategy: Prevention, Rehabilitation, and Aftercare. Tersedia: http://carnegieendowment.org/ publications/ index.cfm?fa=view&id=22155&solr_hilite. [12 September 2011].
Boucek, C. (2008). Counter-Terrorism from Within: Assessing Saudi Arabia’s Religious Rehabilitation and Disengagement Programme. Tersedia: http://carnegieen dowment.org/publications/index.cfm?fa=view&id=22574&solr_hilite. [12 September 2011].

Britanica Enciklopedia Tersedia: http://www.britannica.com/bps/dictionary?query =terror, [17 September 2010].
Conyne, Robert K. (2004). Preventive Counseling:Hhelping People to Become Empowered in Systems and Settings, New York: Brunner-Routledge.
Dadang, Hawari. (2004). Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa.
Depdikbud. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Ibnul Qoyyim. (tt). Madaarijussalikin: Baina Manaazili Iyyaakabudu wa Iyyaaka Nasta’iin, Beirut: Dar al-Fikr.
Nana Syaodih, S. (2007). Bimbingan dan Konseling dalam Praktek, Bandung: Maestro.
Syamsu, Yusuf LN; Juntika, N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Abas, Paridah. (2005). Orang Bilang Ayah Teroris. Solo: Jazera

Samudra, Imam. (2004). Aku Melawan Teroris. Jazera: Solo

World Future Society. (2011). Rehabilitating Terrorists. Tersedia: http://www.wfs. org/node/705. [ 11 September 2011].